Monday, January 9

20 Prinsip Pendidikan Charlotte Mason

Charlotte Maria Shaw Mason (1 Januari 1842-16 Januari 1923)


1. Anak-anak terlahir sebagai pribadi – mereka bukan wadah kosong atau embrio kerang yang punya potensi untuk menjadi pribadi. Sejak awal mereka adalah pribadi. Children are born persons - they are not blank slates or embryonic oysters who have the potential of becoming persons. They already are persons.

2. Walaupun anak-anak terlahir dengan natur dosa, mereka tidak terlahir seratus persen baik atau buruk, tetapi memiliki potensi untuk menjadi baik maupun menjadi buruk. Semua anak dari latar belakang apa pun bisa memilih untuk jadi baik atau buruk. Although children are born with a sin nature, they are neither all bad, nor all good. Children from all walks of life and backgrounds may make choices for good or evil.

3. Konsep otoritas dan ketaatan adalah benar bagi semua orang entah mereka menerimanya atau tidak. Mau tunduk pada otoritas adalah syarat agar sebuah kelompok atau keluarga bisa berjalan dengan mulus.
The concepts of authority and obedience are true for all people whether they accept it or not. Submission to authority is necessary for any society or group or family to run smoothly.

4. Otoritas bukanlah sebuah ijin untuk melecehkan anak-anak, atau mempermainkan emosi maupun hasrat-hasrat mereka yang lain, dan orang-orang dewasa tidak bebas untuk membatasi pendidikan anak atau memakai rasa takut, cinta, kekuatan sugesti, atau pengaruh mereka pribadi atas diri anak supaya anak mau belajar.
Authority is not a license to abuse children, or to play upon their emotions or other desires, and adults are not free to limit a child's education or use fear, love, power of suggestion, or their own influence over a child to make a child learn.

5. Hanya tiga cara yang bisa dipakai seorang guru untuk mendidik anak, yakni lingkungan alamiah anak, melatih kebiasaan-kebiasaan baik, dan mengekspos ide-ide dan konsep-konsep hidup(living ideas and concepts). Inilah makna motto Charlotte Mason, "Education is an atmosphere, a discipline, a life".
The only means a teacher may use to educate children are the child's natural environment, the training of good habits and exposure to living ideas and concepts. This is what Charlotte Mason's motto "Education is an atmosphere, a discipline, a life" means.

6. "Education is an atmosphere" bukan berarti kita sepatutnya menciptakan lingkungan buatan untuk anak, tetapi kita memanfaatkan berbagai kesempatan dalam lingkungan tempat dia selama ini tinggal untuk mendidiknya. Anak-anak belajar dari hal-hal nyata dalam dunia nyata.
"Education is an atmosphere" doesn't mean that we should create an artificial environment for children, but that we use the opportunities in the environment he already lives in to educate him. Children learn from real things in the real world

7. "Education is a discipline" artinya kita melatih anak untuk memiliki kebiasaan-kebiasaan yang baik dan penguasaan diri.
"Education is a discipline" means that we train a child to have good habits and self-control.

8. "Education is a life" artinya pendidikan sepatutnya menyangkut baik tubuh, jiwa, maupun roh. Pikiran anak membutuhkan segala jenis ide, sehingga kurikulum anak haruslah variatif dan kaya yang meliputi banyak mata pelajaran.
"Education is a life" means that education should apply to body, soul and spirit. The mind needs ideas of all kinds, so the child's curriculum should be varied and generous with many subjects included.

9. Pikiran anak bukanlah wadah kosong, atau ember yang harus diisi. Benak anak adalah sesuatu yang hidup dan butuh pengetahuan untuk bertumbuh. Sebagaimana perut dirancang untuk mencerna makanan, pikiran dirancang untuk mencerna pengetahuan dan tidak butuh pelatihan atau olahraga khusus untuk membuatnya siap belajar.
The child's mind is not a blank slate, or a bucket to be filled. It is a living thing and needs knowledge to grow. As the stomach was designed to digest food, the mind is designed to digest knowledge and needs no special training or exercises to make it ready to learn.

10. Filosofi Herbart bahwa pikiran itu seperti wadah kosong yang menunggu diisi dengan kepingan-kepingan informasi membebankan tanggung jawab terlalu besar pada guru untuk menyiapkan pelajaran-pelajaran terperinci sehingga anak justru tidak belajar apa-apa, karena semua sudah dicernakan oleh sang guru.
Herbart's philosophy that the mind is like an empty stage waiting for bits of information to be inserted puts too much responsibility on the teacher to prepare detailed lessons that the children, for all the teacher's effort, don't learn from anyway.

11. Sebaliknya, kita yakin bahwa pikiran anak mampu mencerna pengetahuan nyata, sehingga kita menyediakan kurikulum yang kaya dan beragam yang mengekspos anak kepada banyak ide dan konsep yang vital dan menarik.
Instead, we believe that childrens' minds are capable of digesting real knowledge, so we provide a rich, generous curriculum that exposes children to many interesting, living ideas and concepts.

12. “Education is the science of relations” artinya anak-anak punya pikiran yang mampu membuat sendiri koneksi-koneksi dengan pengetahuan dan pengalaman, sehingga kita pastikan bahwa anak belajar tentang alam, sains dan seni, menguasai berbagai hal, membaca banyak living books dan sehat secara jasmani.
"Education is the science of relations" means that children have minds capable of making their own connections with knowledge and experiences, so we make sure the child learns about nature, science and art, knows how to make things, reads many living books and that they are physically fit.

13. Dalam menyusun kurikulum, kita menyediakan sejumlah besar ide untuk memastikan bahwa benak anak punya cukup makanan otak, pengetahuan tentang bermacam hal untuk mencegah rasa bosan, dan mata pelajaran diberikan lewat bahasa berkualitas tinggi sebab itulah yang paling direspons dengan baik oleh daya perhatian anak.
In devising a curriculum, we provide a vast amount of ideas to ensure that the mind has enough brain food, knowledge about a variety of things to prevent boredom, and subjects are taught with high-quality literary language since that is what a child's attention responds to best.

14. Karena seseorang belum betul-betul “memiliki” pengetahuan sampai ia dapat mengungkapkannya, anak-anak diminta untuk bernarasi, atau menceritakan ulang (atau menuliskan), apa yang telah mereka baca atau dengar.
Since one doesn't really "own" knowledge until he can express it, children are required to narrate, or tell back (or write down), what they have read or heard.

15. Anak harus bernarasi setelah satu kali membaca atau dibacakan. Secara alamiah anak-anak punya fokus perhatian yang bagus, tetapi mengijinkan dua kali membaca membuat mereka malas dan melemahkan kemampuan mereka untuk memperhatikan pada kali pertama. Para guru yang meringkaskan dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan komprehensif adalah bentuk lain memberi kesempatan kedua bagi anak-anak dan membuat mereka merasa fokus pada kali pertama mendengar/membaca tidak terlalu penting. Dengan memahami pada kali pertama, lebih sedikit waktu yang terbuang karena pengulangan bacaan, dan lebih banyak watu tersedia setelah jam sekolah untuk lebih banyak pengetahuan. Anak yang dididik dengan cara ini belajar lebih banyak ketimbang anak-anak yang belajar dengan metode-metode lain, dan ini berlaku bagi semua anak tanpa memandang IQ atau latar belakang.
Children must narrate after one reading or hearing. Children naturally have good focus of attention, but allowing a second reading makes them lazy and weakens their ability to pay attention the first time. Teachers summarizing and asking comprehension questions are other ways of giving children a second chance and making the need to focus the first time less urgent. By getting it the first time, less time is wasted on repeated readings, and more time is available during school hours for more knowledge. A child educated this way learns more than children using other methods, and this is true for all children regardless of their IQ or background.

16. Anak-anak memiliki dua pemandu untuk membantu mereka dalam pertumbuhan moral dan intelektual – kehendak ("the way of the will") dan akal budi ("the way of reason").
Children have two guides to help them in their moral and intellectual growth - "the way of the will," and "the way of reason."

17. Anak-anak harus belajar membedakan antara “Aku ingin” dan “Aku akan”. Mereka harus belajar untuk mengalihkan pikiran mereka saat tergoda untuk melakukan apa yang mungkin mereka ingini tetapi yang mereka tahu tidak benar, dan memikirkan hal lain atau melakukan hal lain, yang cukup menarik untuk menyibukkan pikiran mereka. Setelah pengalihan singkat itu, pikiran mereka akan disegarkan dan bisa mengendalikan kehendak dengan kekuatan yang diperbarui.
Children must learn the difference between "I want" and "I will." They must learn to distract their thoughts when tempted to do what they may want but know is not right, and think of something else, or do something else, interesting enough to occupy their mind. After a short diversion, their mind will be refreshed and able to will with renewed strength.

18. Anak-anak harus belajar untuk tidak terlalu bergantung pada akal budi mereka semata. Akal budi bagus untuk membuktikan kebenaran matematis secara logis, tetapi tidak bisa diandalkan saat menilai ide-ide karena penalaran kita akan membenarkan segala macam ide keliru kalau kita betul-betul menginginkannya (rasionalisasi).
Children must learn not to lean too heavily on their own reasoning. Reasoning is good for logically demonstrating mathematical truth, but unreliable when judging ideas because our reasoning will justify all kinds of erroneous ideas if we really want to believe them.

19. Tahu bahwa nalar tidak bisa dipercaya sebagai otoritas final dalam membentuk pendapat, anak-anak harus belajar bahwa tanggung jawab terbesar adalah memilih ide mana yang harus diterima atau ditolak. Kebiasaan perilaku yang baik dan banyak pengetahuan akan menyiapkan landasan disiplin dan pengalaman untuk membantu mereka dalam hal ini.
Knowing that reason is not to be trusted as the final authority in forming opinions, children must learn that their greatest responsibility is choosing which ideas to accept or reject. Good habits of behavior and lots of knowledge will provide the discipline and experience to help them do this.

20. Kita mengajari anak-anak bahwa semua kebenaran adalah kebenaran dari Tuhan, dan bahwa perkara-perkara sekuler adalah sama ilahinya dengan perkara-perkara religius. Anak-anak bukannya berhadapan dengan dua dunia saat mereka fokus kepada Tuhan dan pada berbagai pelajaran sekolahnya; semua itu adalah satu karena keduanya berasal dari Tuhan dan, apa pun yang anak-anak pelajari atau lakukan, Tuhan selalu bersama mereka.
We teach children that all truths are God's truths, and that secular subjects are just as divine as religious ones. Children don't go back and forth between two worlds when they focus on God and then their school subjects; there is unity among both because both are of God and, whatever children study or do, God is always with them.


(versi bahasa Inggris modern diparafrasekan oleh Leslie N. Laurio dari tulisan Charlotte Mason dalam The Original Homeschooling Series Volume 6, Versi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ellen Kristi)
Sumber:
http://www.amblesideonline.org/CM/20Principles.html