"A bosom friend- an intimate friend, you know- a really kindred spirit to whom I can confide my inmost soul"- Anne of Green gables
Penggalan-penggalan percakapan ibu anak di sela-sela menjalani rutinitas keseharian ini hendak kuberi tagar #overheardathome
Sepertinya dulu pernah aku membuat tagar ini. Hanya saja tidak konsisten menuliskan. Tidak memprioritaskan menuliskannya (lebih tepatnya). Padahal justru percakapan-percakapan inilah inti dan esensi dari atmosfer pembelajaran di rumah. Bukankah demikian?
Tekadku pun bangkit untuk disiplin menuliskan #faithtalk bersama anak. Kali ini kejadiannya sama si bungsu V.
Adakalanya saya akan tidur bareng anak gadisku dan bapaknya tidur bareng si sulung. Banyak kesempatan ngobrol ngalor ngidul akan termungkinkan jika ibu dan boca wedok turu sekamar. Malam itu seperti malam-malam biasa. Tak beda, hanya saja sebuah pertanyaan melekat di ingatanku. Kami sedang membaca kisah Anne dalam serian Anne of Green Gables. Takjub dengan jalinan pershabatan anatara Anne dan Diana. They are kindred spirits. Anne dan Diana, dua sohib masa kecil yang begitu akrabnya. BFF(Best Friend Forever) atau Besties kalo istilah zaman now. Belahan jiwa bisa terjumpai dalam persahabatan juga. Novel anak ini begitu membekas di hati Viena. Kami pun sempat nonton bareng serial Anne with an 'E' season 1 di Netflix (note: seoson 2 nya kami kurang suka). Meski film selalu tak seindah buku (hampir selalu demikian), tetapi dua tokoh karya L.M Montgomery ini menimbulkan satu pertanyaan di benak putriku: Who is my BFF in real life, Mom?
Pertanyaan ini seolah memantik lebih lanjut perkara isu persahabatan dalam diri V. Aku pun mengambil kesempatan ini curhat kisah-kisahku bersama sahabatku. Ada tante Jean teman SD, tante Jes teman SMA, tante Barbara dan Refi teman SMP . Temna kuliah beda lagi. Setiap masa ada sahabat yang berjodoh dengan Mama. Tapi yang namanya BFF itu langka. Sampai hari ini pun yang namanya BFF tetap bakalan ketemuan dan update kabar. Beda dengan mereka yang hanya sekedar teman semusim. Aku sempat kuatir apa anak ini bakal kekurangan teman karena pilihan kami untuk homeschooling.
***
Beberapa waktu berselang....celetukan terkait topik ini kembali muncul,..
"Ma, aku menyadari sejak pandemi ini justru aku menemukan siapa temanku dan my BFF" demikian celetuk V sebelum tidur, "sebelum pandemi aku merasa tidak punya teman. Justru pas pandemi jadi bisa dekat walau bertemu hanya lewat grup WA dan zoom."
***
Beberapa minggu lalu, sekitar awal Januari 2023:
" Do you know Mom, what's the difference between just a friend and a BFF?"
Aku memberinya sebuah gelengan.
"Kalau temanmu jatuh, kau tolong dulu dia lalu baru kita ketawa. Tapi kalo BFF mu jatuh, kau ketawain dulu dia baru kau tolong"
Aku bertanya lebih lanjut apa maksudnya
"We're too close to get offended at each other. When I'm with a BFF, bahkan saat sudah lama ga ketemu, eh pas ketemu bisa langsung cerita akrab tanpa basa basi. Tapi kalo sama sekedar friend, ga bisa begitu. Malah merasa weird.. Kalau sama friend harus cari topik yang sama-sama disukai untuk ngobrol seru. Kalo sama BFF, topik apa pun diobrolin juga seru"
Aku cukup kaget dengan filosofi pertemanan yang termiliki oleh V. Bersyukur bahwa dari sekian banyak komunitas yang kami join, ternyata ada kindred souls yang berjodoh menjadi sahabat V.
Hati pun jadi merasa lega. Siapa bilang homeschooling itu akan kurang teman dan tak bisa sosialisasi?
Teringat teman saya yang jebolan sekolah ternama tapi tetap saja ga punya sahabat. Sekalipun judulnya satu alumni tapi kelekatan persahabatan itu jelas beda kualitasnya! Saya pun yang namanya sahabat itu hingga usia kepala 3 gini ya cuma dihitung jari saja. Tidak buanyak. Karena persahabatan itu bukan masalah ngumpul bareng di satu wadah. Persahabatan itu terbentuk alamiah jika dua hati berpadu dan cocok. Macam Daud dan Yonatan gitu ya. Soul mate!
***
Menuliskan ini tadinya mau mengerjakan tugas BIK. Sebab di Bina iman kali ini kami diajak merenungkan perkara teman dan pertemanan. Kok tulisanku jadinya ngelantur antah berantah, entahlah mengapa. Isi otak ibu rumah tangga macam saya emang acakadul dan random abis. So....
Pelajaran 2:
Menurutmu apakah ada temanmu yang tidak memiliki teman?
- Siapakah dia? Kenapa dia tidak punya teman?
- Kira-kira bagaimana perasaannya saat tidak punya teman?
Pertanyaan ini kutanyakan pada V dan ia pun menjawab:
In real life kayaknya ga ada. Kalau ada aku akan menghampiri dan menjadi temannya. Kasihan kan kalo jadi outcast. Kayak film Wednesday itu loh, Aneka outcasts yang sebetulnya anak-anak unik dan berbakat.
***
Teringat saat ia masih batita dan di sekolah minggu ada anak baru. Entah dari mana inspirasinya, V mendekati anak itu dan mengajaknya berkenalan. Dengan senyum cerianya ia memperkenalkan diri dan mengajak anak itu duduk sebelahnya. Kuamati mereka dari jarak agak jauh dan dalam hati aku berpikir: ini turunan siapa? Padahal saya dan suami tuh bukan tipe ramah begitu. Tapi itulah ajaibnya Tuhan menciptakan anak ini unik.
Saya jadi ingat mungkin saya yang selama ini sudah lupa beramah tamah dan menyambut orang lain seperti seorang anak kecil. Setiap mengamati anak-anak dan pertumbuhan mereka, kami sebagai orang tua pun belajar. Pantesan ya Tuhan bilang barangsiapa ingin menjadi yang terutama di Surga, jadilah seperti anak kecil. A childlike faith is all that we need.
Kembali diingatkan bahwa saya pun dulu an outcast sebelum Yesus mau jadi sahabat saya. Jika melihat orang yang tidak punya teman, bagaimana respon saya? Bukankah Yesus juga sudah rela turun ke dunia ini demi menjadi sahabat manusia berdosa? I guess we're never really lonely when we have Jesus as our bosom friend
No comments:
Post a Comment